Siapa orang tua yang tak senang melihat anak-anaknya hebat (setidaknya menurut penilaian sendiri :D). Mereka mungkin patuh pada orang tua, rajin sholat, rajin membaca, senang belajar, dan lain sebagainya. Akan tetapi, ketika anak-anak diceburkan ke dalam sebuah kelompok, keadaan ternyata bisa sangat mengejutkan. Ada anak-anak yang kemudian mengganggu anak lainnya, ada anak yang ternyata berani mengata-ngatai anak lainnya, atau malah tertekan dalam kelompok karena situasinya tidak sesuai dengan zona nyaman mereka. Lalu bagaimana seharusnya orang tua bersikap?
Anak-anak saya, kadang menceritakan segala hal yang terjadi selama kegiatan kelompok berlangsung. Mereka mulai mengidentifikasi teman-temannya: A begini, B begitu, dan lain-lain. Untuk sementara, kami membiarkan mereka puas bercerita. Beberapa potongan kisah kadang memang membuat kami sedikit tidak nyaman, gemas tepatnya. Hal itu terasa ketika kami mendengar adanya bully kecil-kecilan dalam bentuk fisik maupun kata-kata yang melemahkan mental. Namun suatu hari, suami saya berkata, “Kalian jangan terlalu memperhatikan kejelekan orang. Kita tidak boleh beranggapan bahwa anak yang sekarang terlihat berperilaku jelek, mereka akan jelek selamanya. Kita tidak tahu, suatu hari nanti bisa jadi malah mereka menjadi orang yang sangat baik, malah lebih baik dari kalian. Terlalu banyak contoh untuk hal itu dari kalangan teman-teman Papa.”
Cukup dengan kalimat itu, sebenarnya persoalan selesai. Tidak ada satupun fenomena dalam kehidupan ini yang bisa dilepaskan dari ajaran Illahi. Dan itulah kesempatan untuk mengenalkan kepada mereka ayat Al Quran, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Bangga diri dan bersyukur itu jelas berbeda. Dan sebagai orang tua, saya pun menyadari, kadang-kadang terjebak pada sikap menghakimi daripada mengoreksi diri sendiri. Oh, sebenarnya masih banyak pe er yang masih belum tergarap. Mengapa fokus pada kekurangan orang lalu lupa pada perbaikan diri. Belajar sepanjang hayat itu akan terwujud jika kita merasa kurang, bukan lebih.