Luqman sudah dua kali ikut ujian kenaikan tingkat kung fu. Kondisi dan situasi yang terjadi dalam dua ujian itu sangat berbeda. Dia mencoba mengenang ujian pertamanya. Sepulang ujian ia demam parah. Malam harinya, ia juga susah tidur karena belum terbiasa menginap tanpa ditemani orang tua. Ya, bisa dikatakan semuanya serba tidak berjalan bagus. Usut punya usut, dia akhirnya mengaku bahwa ia nyaris tak makan apapun yang disajikan panitia. Alasannya, menunya nggak disukai, selera makan hilang, dan saat akan pulang ujian, ia terlanjur demam untuk berselera makan, padahal makanannya lumayan menggoda.
Saat ujian kedua, persoalan yang terjadi di atas sudah bisa diatasi. Ia sudah bisa mencoba memaknai setumpuk pesan kami sebelum berangkat, “Belajar bertanggung jawab pada diri sendiri. Misalnya apa? kalau memang waktunya makan, bersegeralah makan, karena dari makanan itulah akan ada energi baru. Kan acaranya padat, juga butuh banyak tenaga. Kalau makanannya nggak enak, cobalah untuk berdamai, karena jika pilihannya tidak makan, kemungkinan besar hasilnya akan seperti ujian pertama, dan malah lebih parah.”
Namun di ujian kedua bukan berarti tanpa tersisa pe er. Saat mengikuti kegiatan terakhir, ia diharuskan menunggu agak lama giliran berangkat. Penyebabnya, peserta lain yang akan jadi teman seperjalanannya tiba-tiba mengeluh sakit kepala. Saat panitia berusaha memanggil ibu temannya untuk konfirmasi obat dan ijin, si ibu tidak dengan mudah ditemukan. Akibatnya, pemberangkatan kelompok menjadi makin lama. Saat itulah Luqman diuji kesabarannya, dan ia mengajukan usul kepada panitia, “Bagaimana kalau saya pergi sendiri?”
Tak disangka panitia berkata, “Kamu jangan sombong. Tunggu dulu. Sabar……… dst”
Saya bisa bayangkan ekspresi Luqman. Saya tahu persis kalau ia kena marah. Wajahnya bisa dibaca dengan beribu makna :D. Orang yang tak begitu mengenalnya, mungkin akan menganggap ia marah besar dan ingin melawan, namun bagi saya sebagai ibunya, bisa membaca dari sudut pandang berbeda. Mungkin ia kesal, tapi juga mungkin ia malu, karena dimarahi di depan temannya yang lain.
Dari mana saya mendapat laporan peristiwa itu? Bukan dari Luqman, tapi dari ketua panitianya langsung. Saya bilang kepada panitia, “Nggak apa-apa Bu. Luqman bukan tipe anak pendendam.” Dalam hati sekelebatan saya sebenarnya khawatir juga terhadap kata-kata saya. Benarkah ucapan saya? jangan-jangan untuk kasus ini Luqman justru merasa sakit hati.
Saya tunggu dia di lintasan terakhir menjelang masuk ke penghujung pos. Orang tua kebetulan dikaryakan untuk memotret anak-anak di pos itu. Tunggu-tunggu, lama menunggu, akhirnya ia nampak di kejauhan bersama dua temannya. Baju dan wajah sudah tak karuan warnanya. Ia berlari sprint mendekati kami para pemotret. Hmmm, ia dan teman sekelompoknya cengar-cengir, ketawa-ketawa. Nggak ada sama sekali tanda-tanda ia habis dimarahi dan sakit hati. Legalah hati saya.
Adapun tentang koreksi dari panitia, kami bahas bersama di rumah. Menguasai ilmu bela diri bukan semata untuk bisa melawan musuh, tapi diawali dengan melawan diri sendiri. Papanya mengilustrasikan, andai berada dalam sebuah medan pertempuran, dan ade jadi pemimpin pasukan, jika sikap ade di sana itu tidak diperbaiki, bisa-bisa anak buahnya ditinggalkan dan ade kabur sendiri. Dia ketawa. Nggak usah diajari, ia juga tahu sikap itu bukan sikap terpuji.
Pe er untuknya: belajar bertanggung jawab, belajar untuk mengendalikan rasa ingin cepat-cepat, dan belajar untuk peduli dengan sebenar-benarnya peduli. Karena kalau sekadar peduli, dalam kadar tertentu saya lihat diapun sudah memilikinya. Pernah satu kali kami akan berangkat ke Bandung. Di ujung gerbang kompleks ada seorang kakek tua. Ia reflek berseru kepada papanya, “Pah, berhenti, stop dulu, stop dulu.” Si papa terpaksa menghentikan mobil di ujung turunan curam.
“Mau ngasih uang ke si bapak itu. Jatah susu mau dikasihin.” Ia melepas sabuk dan merogoh saku tasnya. Dengan kecepatan khasnya, ia meluncur mendekati si kakek. Saya lihat badannya merunduk saat memberikan uang. Si kakek tersenyum sambil tak lepas menatap si bocah sampai ke mobil. Tapi hal itu belum cukup. Sebagai calon pemimpin, meski hanya pemimpin keluarga, ia perlu belajar banyak hal lagi tentang kepedulian yang buka semata peduli dalam kerangka humanisme, namun berbalutkan nilai dan tanggung jawab.