Masih tentang pembiasaan puasa di bulan Ramadhan. Saya sudah mendapati putri saya berpuasa bukan karena disuruh, melainkan karena ia ingin. Kata orang, setiap anak berbeda-beda, dan saya siap jika pun anak laki-laki saya berbeda dalam pola belajar puasa ini. Namun pada ramadhan tahun ini saya menemukan, pola keduanya dalam belajar puasa tak jauh beda.
Pada awal puasa, Luqman (8 tahun) puasa hanya setengah hari, hari ke-2 sampai jam 3, hari ke-3 mencoba sampai maghrib tapi minum pada jam 3, lalu hari ke- 5 sampai ke-11 nasih belang di antara setengah hari dan hampir penuh. Saya membiarkan atau tepatnya mengizinkan karena ia minta izin untuk itu. Dengan jawaban sama untuknya, “Terserah Ade. Yang tahu kuat atau tidak kan Ade sendiri. Kalau merasa kuat dan mau meneruskan sampai maghrib boleh, kalau nggak kuat dan mau berbuka juga boleh.”
Jawaban fleksibel itu sebenarnya sebuah bentuk kepercayaan yang coba saya berikan. Mengingat putra saya berkarakter koleris, yang senang dengan tantangan dan argumentasi, bukan paksaan, rupanya cara sederhana itu sangat tepat. Pada hari ke-12 hingga hari ini ke-21 ia benar-benar bertahan dengan puasanya hingga maghrib. Sama sekali tanpa iming-iming hadiah.
Ia juga beraktivitas dan gesit seperti biasanya. Ia memanjat pohon kersen, bermain bersama teman-temannya, membuat prakarya, berlari, dan aktivitas fisik lainnya tanpa terlihat lelah. Sesekali, dengan bangga ia berkata, “Ma, sekarang Ade nggak merasa sedang puasa. Seharian rasanya biasa saja.” Saya cuma bilang, “Itu adalah pertolongan Allah karena Ade berniat dengan kuat.”
Setelah itu saya makin percaya bahwa ketika orang tua mampu menunjukkan integritasnya di hadapan anak-anak, tanpa harus memaksa, akan ada saatnya anak-anak KLIK dan melakukan apa yang menurut kita baik untuk dilakukan.
Mereka makhluk yang adaptable dan cukup cerdas untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan tanpa tindakan represif. Syaratnya, tunjukkanlah integritas, bukan hanya nasihat kosong.