Beberapa waktu lalu saya mendapat terusan pesan dari WA. Isinya adalah artikel pendek. Dalam artikel itu dituliskan tentang kondisi dunia profesi masa depan yang dinamis dan mempertanyakan, mengapa orang tua yang meng-homeschoolingkan anaknya harus “sibuk” mengusahakan ujian kesetaraan.
Saya bilang ke suami saya, itu topik lama yang sudah sering saya dengar. Ada bagian yang bisa jadi benar, namun ada bagian lain yang sebenarnya tak sesuai dengan spirit pendidikan alternatif. Bukankah saat homeschooler memilih model pendidikan lain selain sekolah, ia sedang membawa dirinya dan secara tak langsung mengampanyekan kepada khalayak tentang pentingnya menghargai kemerdekaan memilih. Lantas mengapa, setelah spirit itu diambil, kita justru melakukan hal yang bertentangan dengannya.
Tentu tak berhak seseorang “memaksa” orang lain untuk punya sudut pandang yang sama dengan dirinya. Pendapat-pendapat yang dikotomis itu selalu mengambil opsi berseberangan secara ekstrem. Homeschooling vs schooling, dan di dalam homeschooling juga ada school at home dan unschooling. Belum lagi dalam unschooling juga ada setidaknya dua pemahaman, yaitu tidak terstruktur sama sekali dan pilihan lainnya berupa model berkurikulum namun kurikulumnya sesuai passion anak. Kalau melihat semua model itu secara sendiri-sendiri, yang terjadi seolah satu sama lain adalah lawan. Padahal, semua model bisa saling melengkapi jika kita melihatnya secara utuh.
Saya sendiri punya pemikiran: ada hal-hal yang memang bisa diperoleh anak secara tidak terstruktur, contohnya perilaku dan karakter. Namun di sisi lain ada pelajaran-pelajaran, yang lebih mengakar jika disampaikan secara terstruktur, misalnya matematika, tata bahasa, kimia, fisika, baca Quran, atau fiqih. Apa manfaat dari struktur? Menurut saya setidaknya ada 2, yaitu: pertama, agar pelajaran tersampaikan secara runut sehingga logika berpikir kita terarah dan tidak berputar-putar; kedua, untuk meminimalisir adanya poin-poin pelajaran yang luput disampaikan.
Lalu bagaimana dengan opini yang menyebutkan bahwa dunia kerja masa depan sudah tidak sesuai lagi dengan model pendidikan formal saat ini? Jawaban saya, secara umum mungkin ya. Tapi apakah itu berarti bahwa semua pelajaran akademik sama sekali tidak perlu lagi dipelajari anak? Apakah dengan begitu lalu kita cukup menjadi seorang pragmatis yang hanya mengedepankan keahlian instan yang kini begitu mudah diperoleh anak lewat internet dan program teknologi komputer?
Terus terang, saya termasuk orang tua dalam kelompok yang berjaga-jaga. Namun berjaga-jaga dalam konteks saya bukan agar anak-anak punya pilihan jadi pegawai suatu saat nanti, sehingga ijasah formal diperlukan, melainkan tentang mengakarkan pemahaman anak-anak. Saat pelajaran-pelajaran berupa skill terapan kian membanjir di internet, dengan cepat anak-anak melahapnya, menguasainya. Akan tetapi, ketika hal itu tidak diimbangi dengan pemahaman konsep dasar ilmiah, saya khawatir ia akan rapuh.
Apa contohnya? Kini program “building” seperti google sketch up sudah bisa diakses dengan mudah. Anak saya cukup tergila-gila dengan program itu, dan dalam penampakan umum, ia mampu membuat berbagai macam desain dengan program itu bak seorang arsitek. Akan tetapi, tentu itu tidak cukup untuk membuat ia bisa memproklamirkan diri sebagai seorang arsitek. Sepanjang yang saya ketahui, ilmu arsitektur bukan sekadar soal desain, namun harus didasari oleh pengetahuan dan analisis topografi wilayah, kondisi tanah, kemiringan, dll. Manakala anak-anak dibiarkan puas dengan hanya melakukan eksplorasi program instan dan tidak didorong untuk membekali dirinya dengan pengetahuan dasar yang bersifat kenseptual, bisa dibayangkan apa yang terjadi.
Mulanya saya juga termasuk orang tua yang sangat terobesesi dengan pembelajaran tidak terstruktur, yang mengedepankan pemahaman konstekstual dibandingkan teori, yang berbasis minat dibandingkan “mengikuti” kurikulum formal terlebih versi kemendikbud :D. Saat anak-anak masih kecil hal itu efektif, karena fase mereka masih dalam tahap eksplorasi. Namun setelah anak-anak cukup besar, saya mulai menyadari bahwa pengetahuan akademik dasar, ternyata sangat penting. Banyak dari kita, yang kini mengkritisi sistem pendidikan nasional, mungkin tidak menyadari bahwa semua yang kita pelajari saat sekolah dulu, kendati sebagiannya tidak kita ingat lagi, sebenarnya banyak berkontribusi dalam menyelesaikan sebagian besar persoalan sehari-hari.
Apa saja contohnya? Biologi dasar tentang sistem perkembangbiakan tumbuhan berguna dalam melakukan perbanyakan tanaman di pekarangan, kimia dasar tentang asam-basa bisa dipakai dalam memilih makanan dan obat-obatan, matematika dasar bisa dipakai dalam aneka penghitungan keuangan keluarga, dalam perdagangan, dalam menghitung volume air, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin kita menganggap semua pelajaran akademik itu sia-sia?
Saya termasuk yang mencoba merevisi pemikiran saya sendiri 😀 bahwa pelajaran sekolah tidaklah berguna. Terus terang, latar belakang tercetusnya pemikiran itu, hanya karena pelajaran-pelajaran sekolah tidak lagi saya ingat setelah ujian selesai. Namun kalau didalami lagi, sebenarnya tidaklah demikian yang terjadi. Perkenalan dengan pelajaran akademik dasar yang mungkin selintas di masa lalu, sebenarnya telah membentuk satu sinapsis di otak kita tentang hal tersebut. Hanya saja ranting-rantingnya mungkin tak begitu detail sehingga kita tak terlalu mengingatnya. Namun, saat kita membutuhkan dan ingin memperdalam ilmu itu kembali saat ini, sinapsis yang sudah terbentuk itu bisa diaktifkan kembali. Dan hal itu akan terasa lebih mudah dibandingkan jika kita belum pernah mengenalnya.
Saya sungguh bertaubat dari berpikir bahwa semua pelajaran sekolah itu sia-sia 😀 . Karena tanpa sadar, saya ini telah mengingkari nikmat Allah. Setelah berusaha untuk memaknai, betapa semestinya saya bersyukur, Allah beri kesempatan kepada saya untuk memperoleh pendidikan formal di masa lalu, sehingga hari ini memiliki pondasi dalam meningkatkan pengetahuan lainnya dan ikut mendampingi anak-anak dalam belajar.
Lalu apa kesimpulan dari paparan ini? Pelajaran akademik menurut saya masih tetap perlu dan insya Allah tidak sia-sia diajarkan kepada anak-anak. Jika metodenya yang menjadi ganjalan, tinggal di bagian itu saja yang diperbaiki. Jika anak-anak tidak tertarik, berarti motivasi dan dorongan yang perlu diberikan. Sementara ujian kelulusan yang diikuti oleh homeschooler melalui lembaga nonformal adalah bentuk kepatuhan administratif terhadap aturan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, tempat kita berdiri dan hidup. Apalah jadinya anak-anak kita dan kita jika tidak mau mematuhi aturan yang berlaku di negara kita sendiri. Dan satu parameter yang juga tak kalah penting untuk dipertanyakan tentang ujian kelulusan yang dijalani homeschooler, “Apakah itu dosa?”. Jika tidak, mengapa harus dipertanyakan terlebih dilarang meski dalam bentuk yang samar. Berbeda bukan berarti harus berseberangan, bukan? Kita bisa beririsan jika mau.