Dalam hidup pasti semua orang pernah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, dan beberapa di antaranya mungkin memunculkan “dendam”. Kata “dendam” sengaja saya beri tanda petik, untuk membedakannya dari dendam yang bermakna negatif. Saya ingin ceritakan salah satu pengalaman saya. Mudah-mudahan ada manfaatnya.
Dulu, 15 tahun yang lalu, saya tinggal di sebuah kompleks perumahan di Bandung. Tetangga saya memiliki tanaman sirih. Tanaman itu begitu rimbun, sehingga sekaligus menjadi semacam pagar, karena rumah beliau memang tidak berpagar. Beberapa orang sering terlihat meminta daunnya, dan tetangga saya ini selalu mengizinkan. Saya lihat, beliau orang yang sangat baik. Karena itulah, suatu hari, saya pun memberanikan diri untuk meminta.
Karena saya lihat orang lain pun memetik sendiri, setelah diizinkan, saya mendekati tanaman untuk memetik. Tetapi, baru memetik satu, si ibu tiba-tiba menghentikan saya, “Sok Neng ku ibu.” Saya agak terkejut tapi kemudian reflek mundur. Beliaulah yang kemudian memetik daun-daun sirih itu sambil berkata, “Kedah ku nu gaduhna cenah Neng mipit seureuh mah. Ieu ge tos mulai rada awon (Kata orang, sirih itu harus dipetik sama pemiliknya, Neng. Ini juga sudah mulai kurang bagus tanamannya)”.
Saat itu ada perasaan tidak enak di hati saya, yang sulit saya jelaskan. Saya terima sirihnya dan berterima kasih, namun jauh di lubuk hati, saya memutuskan untuk berusaha tidak meminta lagi. Ternyata tidak seperti yang saya saksikan dari kejauhan, meminta daun sirih bukanlah perkara yang mudah.
Sekitar 6 tahun sesudah itu, Allah memberi kami rezeki untuk membeli rumah sendiri. Meskipun hanya tipe 36 dan posisinya tidak lagi di kota besar, hal itu sangat kami syukuri. Dan bisa jadi teman-teman bisa menebak, tanaman pertama yang saya siapkan untuk mengisi pekarangan depan adalah tanaman sirih. Tak tanggung-tanggung, saya bahkan menanam di dua titik.
Beberapa bulan berlalu, tanaman sirih kami mulai berdaun lebat dan subur. Benar-benar menyenangkan. Tibalah saatnya menumpahkan “dendam” di hati saya yang selalu menyala terkait tanaman sirih. Tahukah teman, apa “dendam” itu?
Saya betul-betul berniat dalam hati, jika saya memiliki tanaman sirih dan ada orang yang memintanya, saya akan biarkan mereka memetik sendiri tanpa harus saya tongkrongi. Saya ingin buktikan, benarkah tanaman sirih akan mati kalau dipetik bukan oleh pemiliknya.
Satu demi satu pada hari-hari selama saya tinggal di rumah baru kami yang sederhana, orang-orang mulai ada yang meminta sirih. Dan “aturan” dari saya kepada setiap orang yang meminta, “Silakan ambil. Kalaupun saya sedang tidak ada di rumah dan Ibu butuh daun sirih, ambil saja.”
Kepada tetangga dekat saya, saya juga mengatakan hal yang sama, “Kalau saya sedang pergi dan terlihat ada yang mau minta sirih, dipersilakan saja, ya Bu.”
Mereka tanya, “Jadi halal ya, Bu?”
“Iya, insya Allah,” jawab saya.
Sekarang sudah hampir tahun ke-9 tanaman sirih ada di depan rumah, menjuntai ke luar pagar. Alhamdulillah, tanaman itu masih tetap berproduksi meski banyak orang telah memetiknya. Mitos bahwa pemetik sirih haruslah pemiliknya, gugur sudah.
Kisah di atas, hanyalah salah satu dari banyak sumber “dendam” lainnya dalam kehidupan saya. Dan hari ini saya justru bersyukur kepada tetangga saya itu. Kalau saja beliau tidak memetikkan sirih untuk saya waktu itu, apapun alasannya, mungkin hari ini saya tidak belajar untuk berbagi. Mungkin itulah yang dinamakan, “Blessing in disguise”.