Sangat menarik apa yang saya lihat, ketika anak saya berlatih wushu (kungfu) pada pertemuan ke-3. Kami (saya dan suami) selalu berusaha melihat proses latihan dari awal hingga selesai, supaya bisa melihat perkembangan dan juga bisa membantunya berlatih di rumah.
Terlepas dari soal anak kami memang masih pemula pada cabang olah raga tersebut, satu hal yang mulai kami sadari, koordinasi antara indera pendengaran (yang terhubung ke otak) dengan gerak tubuhnya ternyata sedikit tidak harmonis. Hal itu sangat berbeda dengan ketika ia sesekali bermain game di komputer. Anak saya sangat mampu berkonsentrasi dan tangkas menggerakkan mouse untuk menyelesaikan masalah. Pertanyaan saya, mengapa bisa begitu?
Dugaan saya sementara, itulah salah satu efek samping game atau apapun yang dimainkan di dunia virtual dalam jangka waktu yang cukup lama dan intensif. Kegiatan virtual, memang bisa melatih kecepatan otak kognitif untuk berpikir dan bereaksi. Ketika anak-anak memainkan game bercocok tanam, misalnya, proses yang dilakukan di layar mungkin bisa melatih otak anak-anak membuat strategi waktu menanam, penyiraman, pemilihan jenis sayuran, dan lain-lain. Akan tetapi, secara fisik sebenarnya mereka pasif. Jadi, jangan harap mereka benar-benar akan bisa menempuh semua proses bercocok tanam, karena di dalam praktik nyata, kegiatan ini butuh tak hanya sekedar strategi, namun juga kesabaran dan ketelatenan.
Ketika proses “belajar” lewat game terlalu berlebihan, tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik, maka terjadilah perbedaan jarak waktu antara reaksi otak dengan aksi tubuh. Hasilnya adalah “kegagapan” koordinasi otak-tubuh.
Buat saya, hasil pengamatan ini sangat-sangat berharga. Tanpa saya sadari, kendati saya sering bilang di beberapa tulisan, bahwa proses belajar virtual harus diimbangi dengan kegiatan nyata secara fisik, namun kenyataannya, porsi belajar virtual anak-anak saya telah melebihi ambang batas untuk terjadinya keseimbangan.
Saya akhirnya membincangkan topik itu dengan anak saya, dan alhamdulillah ia mengerti. Buat saya, sangatlah penting membiasakan diri untuk berdiskusi dengan anak tentang apapun yang boleh dan terutama yang tidak boleh atau harus dikurangi. Tanpa memberikan pemahaman, kita justru malah mengajarkan pada mereka untuk arogan tanpa argumentasi.
Hasil observasi singkat itu melahirkan “frame” baru di benak saya, “Dunia virtual adalah bayangan dunia nyata laiknya bayangan benda di depan cermin, namun ia tetaplah bukan benda yang sebenarnya. Karena itu, jadikan dunia virtual hanya sekadar sarana untuk mengantarkan anak-anak pada proses pengenalan ilmu pengetahuan namun realisasinya tetap pusatkan di dunia nyata, untuk kemanfaatan ummat manusia.”
Pe er buat kami tentunya adalah memberikan porsi kegiatan fisik lebih banyak sehingga perhatian anak-anak pada game virtual (sekalipun nampak edukatif) bisa teralihkan.