Mencoba merenungkan fenomena hal-hal gratisan dengan sesuatu yang berbayar. Masalah ini kadang sedikit mengganggu, terutama bagi saya sendiri dalam menentukan sikap.
Saya coba ambil dua buah kasus. Pertama tentang bahan pangan, misalnya kunyit atau aneka bumbu, seringkali bisa diperoleh gratis di kampung-kampung, karena stoknya melimpah. Orang kampung patut bersyukur dan kita yang mendengar beritanya kadang berdecak kagum atau “mupeng” . Tapi di kota atau di daerah yang tidak surplus kunyit dan bumbu, akan kita lihat bahan pangan itu menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Penyebabnya, karena tidak semua orang kota menanam kunyit. Orang kota justru merasa terbantu dengan adanya distribusi kunyit dari daerah lain, sehingga mereka mau dan rela membayar harganya. Pertanyaan saya, apakah karena melihat kunyit bisa gratis di suatu kampung, lantas kita harus mengatakan kepada para pedagang kunyit di kota bahwa mereka tercela, karena memperjualbelikan bahan pangan yang bebas bayar di kampung-kampung?
Demikian juga tentang profesi, misalnya guru, penulis, dokter, ahli bangunan, atau profesi lainnya. Di beberapa tempat, mereka yang berprofesi itu mungkin tidak mendapat bayaran yang tinggi, atau terserah orang mau bayar berapa, dan bahkan tidak dibayar sama sekali. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Ada yang terpaksa karena orang tua atau “klien” tidak sanggup bayar, bisa juga karena ia memilih begitu sebagai donasi amal, dan lain sebagainya. Biasanya kita juga akan merasa begitu salut atas pengorbanan dan konsistensi orang-orang semacam itu.
Namun di lain pihak, ada yang berprofesi sebagai guru, penulis, atau profesi lainnya, di tempat yang berbeda, dibayar dengan nilai rupiah yang bagus, atau justru mereka menetapkan tarif bayaran tertentu. Tujuannya, agar orang-orang yang datang mencari mereka sudah tahu sejak awal, berapa yang dana yang harus disiapkan atau sanggupkah mereka membayar?
Pertanyaan saya, sama dengan di atas, apakah dengan melihat perbandingan 2 kondisi itu lantas kita boleh dan bisa berkata kepada para profesional yang menetapkan bayaran, bahwa perbuatan mereka tercela?
Awalnya, saya juga reflek menjadi kurang respek terhadap orang-orang yang menentukan tarif. Namun di sisi lain saya melihat fakta, ternyata ada juga orang-orang yang justru merasa zalim jika tidak mau membayar apa yang akan diperolehnya. Dan jujur saja, saya juga kadang menjadi lebih bingung ketika bibi yang suka membersihkan kebun berkata, “Terserah Ibu saja,” ketika saya tanya harus bayar berapa.
Setelah membaca berbagai rujukan, akhirnya saya menemukan sebuah rumusan tentang hal ini. Takaran benar dan salahnya sebuah transaksi adalah kerelaan kedua belah pihak (selama tidak menyalahi hukum), dan bukan ketidakrelaan pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan “transaksi” itu. Jadi, untuk membandingkan kata gratis dan bayar tidak selalu harus kita tulis dengan akronim vs di tengah-tengahnya. Setiap kondisi pasti ada latar belakangnya, dan keragaman di sisi latar belakang itulah yang membuat kesimpulan tak bisa dipukul rata. Terlebih jika urusannya dikaitkan dengan diterima atau tidak diterimanya amal oleh Allah SWT, itu jelas bukan wilayah manusia. Hanya Dia Yang Maha Mengetahui segala isi hati. Wallahualam.