Kegiatan belajar dalam konteks pendidikan formal saat ini nampak begitu menakutkan, terutama setelah munculnya ketentuan UN sebagai penentu kelulusan. Guru-guru di sekolah begitu cemas, dan kecemasan itupun menular kepada siswa-siswanya atau mungkin sebaliknya. Entahlah, bagaimana hubungan timbal-balik yang sebenarnya. Yang jelas, belajar tidak lagi menjadi sebuah petualangan menarik, melainkan beban yang menghimpit.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi dalam pendidikan formal kita? Saya menemukan jawaban secara tidak langsung tentang pertanyaan ini dari seorang Profesor Matematika ITB, Bapak Iwan Pranoto dalam acara Bincang Edukasi Meetup 8, di Gedung Nini Edupreneur, Bandung, 7 Juli 2012 yang lalu.
Berdasarkan pemaparan Profesor Iwan, saya menyimpulkan bahwa kegiatan belajar akan maksimal dan menyenangkan ketika:
(1) Adanya hasrat anak untuk belajar. Tugas pendidik adalah memelihara dan menyalakannya terus, dan bukan memaksa.
Hal ini dibuktikan Prof. Iwan, ketika beliau menitipkan handout kepada panitia untuk diserahkan pada peserta, dan di halaman pertama terpampang teka-teki wordsearch. Waktupun berlalu, dan tanpa disuruh, beberapa peserta mengisi wordsearch tersebut dengan asyik. Beliau menyebutkan, itulah contoh dari hasrat. Melakukan tanpa paksaan, melakukan dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh.
(2) Kegiatan yang diberikan merupakan sesuatu yang baru atau memiliki rule (aturan main) yang baru.
(3) Kegiatan belajar mempunyai tantangan sedikit di atas kemampuan anak (Tidak terlalu jauh di atasnya dan jangan juga jauh di bawahnya).
(4). Kegiatan dan suasana tidak menghakimi jika mereka salah.
(5) Ada penghargaan atas prestasi dari para pendidiknya (dalam level yang wajar, tidak berlebihan) yang kemudian diarahkan pada self rewards yang dirasakan anak, yaitu rasa puas ketika ia mencapai satu tahap keberhasilan.
Pada akhirnya, anak-anak belajar bukan lagi untuk memuaskan orang lain apalagi memperoleh pujian orang lain, melainkan karena rasa senang yang tumbuh dari dalam dirinya sendiri.