Awal bulan Desember ini saya dicurhati seorang ibu tentang trauma masa kecilnya. Trauma itu berasal dari sikap keras mamanya yang luar biasa. Ia tak menceritakan secara detil apa bentuk kekerasan yang dimaksud, namun melihat efeknya, saya bisa bayangkan, sepertinya cukup berat.
Setelah dewasa, si ibu menjadi sangat sensitif, gampang menangis, sekaligus juga gampang marah dengan emosi yang meledak. Setiap kali bertemu orang yang karakternya mirip sang mama, ia bisa gemetar ketakutan. Namun saya salut, ia menyadari bahwa trauma itu harus diatasi, ia harus memaafkan mamanya, yang mungkin juga berada dalam tekanan saat mengasuh dirinya, dan ia berusaha keras mencari informasi tentang segal hal yang terkait penyembuhan jiwanya. Ia kaji dari pendekatan agama.Ia membeli buku-buku psikologi untuk memahami dirinya, memahami karakternya, dan juga memahami karakter orang lain. Kedatangannya ke rumah saya pun untuk maksud yang sama, menambah referensi yang ia rasa masih kurang, siapa tahu saya punya.
Dan ketika pada pertemuan berikutnya si ibu mengatakan “lega” sehabis membaca buku yang saya pinjamkan, saya justru mendapat semacam pengingat yang benar-benar menusuk ke dalam kesadaran. Betapa dahsyatnya efek dari sikap dan pola asuh seorang ibu. Bukan hanya tentang hati yang terluka, sikap yang buruk, terlebih sinis dan kasar, juga bisa membuat jiwa anak menjadi sakit. Dan bukan mustahil, hati anak lambat-laun menjadi keras dan ia melakukan hal yang sama kepada orang lain.
Sebuah tekad ke depan insya Allah: menggemburkan hati anak-anak dengan kasih sayang, canda-tawa, dan penghargaan. Mudah-mudahan benih-benih kebajikan tumbuh di hati mereka dengan suburnya. Amin.