Suatu pagi saya dan anak-anak membaca buku, “Teknologi dan Kesehatan”. Ketemulah kami dengan pembahasan tentang penyakit ginjal. Mumpung lagi antusias, saya ambil “Visual Dictionary” untuk belajar lebih jauh tentang organ ginjal dan fungsi-fungsi setiap bagiannya.
Setelah selesai menelusuri anatomi ginjal, Luqman (5,5 tahun) penasaran juga dengan organ lainnya, dan dia menunjuk lambung sambil berkata, “Mama, di sini ada banyak enzym dan asam lambung. Mama tahu nggak, apa gunanya enzym dan asam lambung itu?” Saya menggeleng.
“Enzym dan asam lambung itu gunanya untuk mencernakan makanan,” jawab dia yakin. Saya bengong. Saya merasa tak pernah mengajari dia tentang ini, tak pernah pula membicarakannya sebelum ini. Itulah salah satu keseruan saat membaca bersama. Anak-anak bukan cuma mendengarkan, namun juga punya kesempatan untuk mengeluarkan. Dalam beberapa topik lain, sering sekali mereka bahkan lebih tahu dibandingkan kami orang tuanya.
Saya jadi makin yakin, anak-anak memang tak bisa diremehkan. Mereka adalah pembelajar alami. Mereka belajar dengan cara yang tidak kita duga. Bedanya dengan cara formal, proses belajar informal tidak berorientasi untuk menyelesaikan soal ujian, sehingga mereka bebas dari rasa tertekan. Pengetahuan anak akan keluar dengan sendirinya ketika mereka menemukan konteks yang sesuai.
Tony Buzan bilang, semua anak yang lahir adalah calon jenius tanpa kecuali. Tinggal kita beri mereka kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungannya, memberi stimulus yang membangkitkan rasa ingin tahu, dan mengenalkan serangkaian alat untuk menyerap pengetahuan, salah satunya buku. Cara itu akan mempermudah mereka memperoleh pengetahuan secara mandiri dan bukan semata disuapi. Orang tua juga pasti punya keterbatasan ilmu kalau harus menjelaskan semuanya.