Pernyataan ini sangat populer di kalangan praktisi pendidikan informal, terutama homeschooler, “Pelajari yang disukai, belajarlah secara menyenangkan”. Kenyataannya, tak hanya pelajaran akademik, banyak pelajaran penting dalam kehidupan ini justru tidak menarik, apalagi menyenangkan. Kita memang harus berempati terhadap anak, dengan tidak memporsir mereka untuk bergegas mempelajari semua hal, sekalipun yang penting. Tetapi di saat yang sama kita juga sebaiknya tidak berhenti untuk membantu mereka agar bisa belajar tanpa melulu mengandalkan rasa senang dan permainan.
Belajar itu pada dasarnya “berat”. Dalam arti, kendati anak berminat terhadap bidang yang dipelajari, atau dikemas dengan menyenangkan dan diupayakan supaya anak senang, namun di dalamnya ada level-level kesulitan tertentu. Tantangan bagi guru dalam hal ini, bukan hanya menciptakan metode yang bikin anak gembira, namun juga membangun kemampuan anak untuk sanggup secara bertahap menaiki level-level kesulitan itu. Cara yang sering luput untuk dilakukan adalah membuat rutinitas belajar yang konsisten dan menakar kadar pemberian materi sesuai kesanggupan anak.
Adakalanya kita tergoda untuk menggunakan atau menciptakan cara belajar alternatif di luar kebiasaan. Itu bagus, namun jika pencarian metode terlalu diprioritaskan, sering akhirnya kita terjebak sibuk dalam hal itu, dan kegiatan belajaranya sendiri tidak pernah terjadi. Memang betul, belajar tak hanya melulu soal mengetahui sesuatu dalam bentuk formal, namun untuk beberapa bidang pelajaran, mau tak mau anak membutuhkan pola yang sistematis untuk meminimalisir adanya bagian yang terlewat, misalnya: gramatika bahasa, membaca Al Quran, fiqh ibadah, dll.
Beberapa pelajaran lain yang ada kurikulumnya, juga akan lebih mudah dipelajari secara berurutan dan metodenya tidak mesti harus nunggu yang canggih. Misalnya belajar matematika, ya ambil buku, pensil, penghapus, kertas buat corat-coret, jelaskan materinya, lalu biarkan anak berlatih. Jika ada yang susah, anak boleh bertanya, lalu jelaskan kembali. Jika besoknya dia bingung lagi, jelaskan lagi, lagi, dan lagi sampai akhirnya dia mengerti. Konvensional sekali, kan? Tapi tentunya, dengan homeschooling anak bisa leluasa bertanya, asalkan orang tua memang membuka peluang itu.
Contoh lain, belajar IPA. Nggak perlu repot dan bingung, atau takut dikata-katai “tradisional” oleh guru-guru modern. Ambil buku IPA dan buku penunjangnya. Biarkan anak membaca dulu materinya sampai batas halaman atau bab tertentu, lalu minta dia menjelaskan pemahamannya. Jika ia macet dan tidak mengerti, kita bantu menjelaskan, pancing suasana diskusi, dan kaitkan dengan konteks di dunia nyata. Jika ada benda-benda kongkret yang bisa dihadirkan, kita bisa hadirkan. Jika ada buku yang membahasa topik itu secara lebih terperinci, ambil dan ajak baca sama-sama. Jika ada video yang bisa menambah pemahaman, putarlah videonya.
Hal lain yang penting dibangun, adalah kebiasaan mencatat apapun yang sudah ia pelajari, tapi bukan menyalin isi buku. Anak bisa menulisnya dalam narasi agak panjang jika ia mau, namun ketika anak berat dengan model itu, ia bisa diajari cara pencatatan model “mind mapping”. Anak kinestetik biasanya lebih suka model kedua ini, karena lebih praktis dan cepat.
Selain itu, jangan lupa biasakan anak mencatat resumenya dalam satu buku yang tetap. Hal itu untuk membangun kesadaran pengarsipan dan disiplin, di mana banyak orang dewasa juga masih punya pe er berat terkait hal ini 😀
Bagaimana dengan tanggapan yang mungkin muncul, misal, “Itu bukan homeschooling, tapi school at home”.Ya, nggak apa-apa. Insya Allah enggak dosa, kan? 😀