Kebun, bukan hanya tempat menanam sayuran bagi kami. Ia sekaligus laboratorium yang saya sediakan bagi anak-anak. Di sana mereka bisa “membaca” sekelumit hal tentang alam. Aneka kepik, kupu, ngengat, belalang, kumbang, lebah, dan cacing, setidaknya tak lagi jadi hewan asing bagi mereka, karena makhluk luar biasa itu bisa dijumpai di kebun hampir setiap saat. Benih yang berkecambah, lalu tumbuh besar adalah hal menakjubkan lainnya yang bisa disaksikan. Demikian pula larva-larva gemuk yang kerap ditemukan di bawah tanah saat anak-anak menggali, menyibukkan mereka dengan pertanyaan, larva apakah itu?
Begitulah, saat anak-anak masih kecil, kegiatan mereka di kebun hanya menjadi eksplorer seumpama Dora dan Diego dalam film kartun :). Kalau saya ikuti standar perfeksionis, bahwa kebun harus membuat mereka menjadi lebih serius belajar biologi, misalnya, maka saya akan kecewa berat. Pada usia di bawah 7 tahun, anak memang masih dalam fase eksplorasi besar-besaran. Percuma saja fase alami itu dilawan. Peran saya cukup membiarkan mereka menjalani dan menikmatinya sebagai anak-anak yang mencari tahu dan mengamati. Kalaupun ada hal-hal yang lebih serius mereka kembangkan, misalnya mencocokkan hasil pengamatan dengan buku-buku yang mereka baca, itu hanyalah bonus.
Namun belakangan, setelah anak-anak sudah makin besar (9 dan 11 tahun ), ternyata ada hal-hal mendalam yang lambat-laun mereka pahami. Berkebun bukanlah semata urusan menikmati permainan memetik sayuran atau mengejar kupu-kupu, melainkan demi sebuah tujuan yang lebih besar. Anak-anak jadi terlibat aktif secara fisik dan juga pemikiran. Mereka mulai tertarik menata dan membuat perencanaan.
Selama ini, setiap kali bersantai, terutama saat menyantap hidangan makan siang, saya selalu bercerita kepada mereka tentang isu-isu makanan, tentang jenisnya yang makin beragam, tentang zat-zat tambahan yang makin sintetis, tentang makanan masa lalu yang lebih sederhana tapi alami, dan banyak hal lainnya. Semuanya bermuara pada satu konsep: mengusahakan makanan yang sehat dan alami, dan berikhtiar memenuhi sebagiannya dari kebun sendiri.
Saya tidak tahu, apakah gaya saya bercerita termasuk gaya menggurui ataukah tidak. Hal yang saya yakini adalah, visi itu menular. Ketika pembicaraan kita mengandung visi, maka ia memberi energi. Bahkan anak-anak sekalipun akan bisa menangkap energi itu. Jadi, selalulah bercerita dan tularkan visi-visi luhur itu pada anak-anak. Selagi kita punya integritas dan selalu jadi pendengar yang baik bagi anak, insya Allah, merekapun bisa jadi pendengar dan penyimak yang baik.