Sekitar 2 tahun yang lalu, saat anak-anak saya, Luqman masih 4 tahun, dan Azkia 6 tahun, saya mencoba memperkenalkan makanan paling mudah olah pada mereka, yaitu ubi kukus. Hasilnya? Mengecewakan. Mereka hanya melihat sekilas, mencicip sedikit, lalu pergi.
Sesaat saya menganggapnya sebagai hal biasa, karena memang mereka belum pernah makan makanan seperti itu sebelumnya. Akan tetapi, setelah saya renungkan lagi, sepertinya hal itu bukan fenomena biasa, tapi merupakan tantangan pengasuhan. Orang Indonesia, orang Sunda lagi. Masak iya nggak mau makan ubi kukus?
Walau bagaimanapun, makanan hasil olahan sendiri jauh lebih sehat dibandingkan makanan dengan pengawet dan pewarna buatan untuk membuat makanan menarik dan tahan lama.
Selain itu, sebagai orang Indonesia saya berharap, anak-anak harus kenal dan akrab dengan makanan ala Indonesia. Jangan sampai hanya kakinya saja yang menjejak di bumi pertiwi tapi gaya hidupnya jauh dari nilai-nilai ke-Indonesiaan.
Kembali ke soal ubi. Akhirnya saya memutuskan untuk memperkenalkan makanan itu lagi dan lagi, dengan memberi mereka contoh bagaimana menikmatinya dan mensyukuri kelezatan alami yang ada di dalamnya.
Lega. Tak sampai satu bulan, terapi yang saya lakukan menunjukkan hasilnya. Acara cicip-mencicip melebar ke jenis umbi-umbian dan makanan minim olah lainnya, seperti talas kukus, singkong urap, kecipir rebus, kolak labu, dan lain sebagainya. Alhamdulillah, kini mereka mulai akrab dan menyukainya sebagai penganan di sela makanan pokok. Modalnya hanyalah kepercayaan mereka bahwa makanan baru yang diperkenalkan ibunya adalah makanan yang sehat dan tak ada salahnya mereka mencoba.
Sungguh sedih, saat saya mengajak anak-anak berjalan-jalan ke perkampungan di Tanjungsari dan mendatangi beberapa warung kecil, ternyata jajanan anak yang dijual di situ bukan lagi makanan tradisional kayak pisang goreng, kue lapis, jalabria, atau kue apem. Produk yang mereka jual adalah snack buatan pabrik berkemasan yang siap beli dari pasar. Kekhasan sebuah kampung yang identik dengan kekayaan sumber alam dan kuliner menjadi seolah lenyap. Masyarakat kampung kini hanya menjadi konsumen produk industri tanpa mengimbanginya dengan juga memasarkan produk hasil rumah tangga khas daerah mereka. Semoga ini hanya terjadi di satu atau beberapa kampung dan tidak di semua kampung.
Lanjut ke masalah terapi memperkenalkan makanan minim olah dan makanan tradisional, saya berdoa, mudah-mudahan hal itu juga akan membuat anak-anak menjadi orang yang luwes. Di manapun mereka tinggal, janganlah sampai persoalan makanan menjadi sangat mengganggu. Jangan sampai mereka menjadi anak-anak yang hanya kenal kelezatan yang “direkayasa” manusia dengan bumbu dan aneka proses olah yang rumit. Mereka juga harus kenal kelezatan alami karya cipta Allah Yang Maha Besar, yang tersuguh gratis pada segala jenis bahan makanan hasil bumi.
Mudah-mudahan, dengan mengenal makanan tradisional anak-anak juga terhindar dari sikap mengkastakan makanan. Makanan orang biasa dan makanan orang luar biasa? Meski bagaimanapun kondisi perekonomian keluarga kami, jangan sampai mereka mencitrakan dirinya atau orang lain sebagai orang-orang yang hebat hanya karena mereka makan makanan modern, dan menilai seseorang jadi nggak keren kalau mereka lebih suka makan makanan ‘kampung’.
Setiap orang tua punya cara pandang sendiri-sendiri tentang hal ini. Tentunya boleh tidak setuju 🙂