Ketika saya bercerita bahwa anak-anak saya menjalankan homeschooling (HS), maka komentar pertama dari teman atau kerabat biasanya selalu berkisar tentang,”Bagaimana sosialisasinya?”. Dulu, saat awal-awal kami ber-HS, pertanyaan semacam itu membuat saya merasa diselidik dan diserang secara psikologis. Karena itu, wajarlah jika akhirnya jawaban-jawaban yang saya kemukakan juga cenderung defensif. Adakalanya, jawaban saya juga kental dengan pembenaran-pembenaran yang bahkan bukan hasil pengalaman saya sendiri, melainkan “kata” orang lain, karena saya belum melewati jenjang berikutnya masa perkembangan anak.
Namun fase itu sudah berlalu seiring dengan berlalunya fase pencarian “jati diri” saya sebagai orang tua homeschooler. 🙂 Kini, saya lebih punya pandangan yang mudah-mudahan lebih objektif tentang sosialisasi. Sekarang anak-anak saya sudah berumur 9 dan 11 tahun. Saya tidak berbicara berdasarkan teori atau asumsi semata, melainkan fakta, bahwa sosialisasi dalam kadarnya yang berlainan adalah kebutuhan setiap orang, anak maupun dewasa, baik dia seorang introvert atau extrovert.
Oleh karena itu, persoalan saya tentang sosialisasi bukan lagi tentang apa sih sebenarnya inti dari sosialisasi, sehingga kemudian membuat perbandingan-perbandingan tentang sosialisasi anak di sekolah formal dengan sosialisasi anak-anak HS. Saya kira hal itu hanya akan membuang energi dan tidak memecahkan masalah anak-anak saya. Alangkah ruginya, manakala waktu berlalu tanpa kompromi, sementara kami masih terus berputar-putar dalam polemik tentang apa itu “real sosialisasi”. Padahal ketika kita akui bahwa anak-anak pun butuh teman untuk berkomunikasi, menyalurkan fitrahnya sebagai makhluk sosial, pe er kita menjadi lebih jelas, yaitu memfasilitasi kebutuhan tersebut meski bukan di sekolah formal.
Saya akhirnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri betapa senyum merekah mengembang di wajah anak-anak saya saat mereka berjumpa temannya di tempat latihan wushu atau teman-teman sebayanya datang ke rumah meminjam buku. Beraktivitas bersama teman memang memberikan nuansa berbeda yang menyenangkan. Putri saya begitu bersemangat menjelang les bahasa Inggrisnya setiap dua kali dalam seminggu. Ia bercerita tentang gurunya, tentang tugas yang diperolehnya, dan apa yang terjadi di tempat les. Ada belasan anak di sana yang membuat dia merasa menjadi bagian dari anak-anak yang hampir sebaya.
Dan, saya sebagai orang dewasa, harus jujur mengakui, pada faktanya saya juga membutuhkan sosialisasi meski dalam kadar saya sendiri. Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi saya untuk terus membincangkan konsep sosialiasi anak secara berpanjang lebar. Saya hanya perlu menyediakan wadah yang sehat untuk bersosialisasi sesuai ukuran yang kami sanggupi.