Agar punya pengalaman belajar di dalam kelas, di mana ada sosok guru, ada teman saat belajar, adalah salah satu alasan mengapa saya meminta Luqman ikut les bahasa Inggris beberapa bulan lalu. Tapi baru dua kali ikut, ia sudah meminta, “Boleh nggak Mah, belajarnya sebulan ini aja?”. Tentu saja saya tak bisa menyetujuinya tanpa tahu penyebab.
Ini rentetan argumen Luqman untuk keluar kursus:
Saya: Kenapa pengen keluar?
Luqman: Pertama, apa yang dipelajari di tempat kursus sebenarnya Ade udah tahu lewat internet.
Saya: Pasti ada yang belum, masak semuanya sudah tahu.
Luqman: yaa, 80 persen lah.
Saya: Tuh kan berarti masih ada yang belum tahu.
Luqman: Tapi ada alasan kedua. Teman-temannya itu lho. Gimana ya?
Saya: Kenapa? Suka mengganggu?
Luqman: Ya, agak-agak jail gitu lah.
Saya: Misalnya?
Luqman: Mmm, misalnya kalau mister tanya, terus Ade mengangkat tangan, teman di sebelah kanan langsung menurunkan tangan Ade. Ngelarang.
Saya: Wah, masak iya?
Luqman: Jangan ngangkat tangan, katanya. Jangan ikut jawab.
Saya: Ya udah, tangan satunya lagi aja angkat.
Luqman: Itu juga. Tapi teman sebelah kiri juga nurunin tangan kiri.
Saya: Kalau gitu ngomong aja, jawab. Kan ngomong nggak mesti pakai tangan.
Luqman: Justru itu. Pas Ade ngomong, tangan Ade dilepasin, tapi mulut yang ditutup.
Saya: Memang misternya nggak menegur?
Luqman: Negur sih, tapi tetep we mereka bandel.
Saya: Ade takut nggak sama mereka?
Luqman: Bukan takut, kesel aja.
Saya: Ya udah, kalau nggak takut cuekin aja. Mungkin karena mereka belum kenal. Jadi cari perhatian. Lama-lama pasti berubah. Lagipula, di manapun pasti ada aja yang kayak gitu. Nggak semua orang yang kita kenal pasti menyenangkan.
Argumen terbantahkan. Ia mau melanjutkan.
Sesudah itu, lumayan ia mulai menikmati kursus, mulai merasa ada tantangan. Nilainya yang semula biasa aja, nggak dapet rangking, lama-kelamaan mengalami kenaikan. Setelah 3 bulan, di sertifikat nilainya mulai dapet posisi 4, lalu 3, lalu 2, dan akhirnya bulan lalu naik ke rangking 1. Sesudah ada di posisi 1, saya pikir keinginan keluar sudah hilang. Ternyata…
Luqman: Mah, boleh nggak bulan depan keluar aja kursusnya?
Saya: Apa lagi masalahnya sekarang?
Luqman: Ya, kalau urusan teman-teman sih nggak terlalu, walau kadang suka ngejek juga. Tapi, Ade diem aja.
Saya: Mengejek apa?
Luqman: Mereka sering bilang bodoh ke Ade.
Saya: Bercanda kali?
Luqman: Kalau Ade tunjuk tangan untuk jawab pertanyaan mister, mereka suka bilang, “Ah, sombong.”
Akhirnya Ade suka menahan diri, nggak ngangkat tangan walaupun bisa. Biarin lah ngasih kesempatan ke mereka.
Saya: Bagus dong, Ade ternyata bisa kayak gitu.
LUqman: Tapi kalau diem, kadang mereka bilang, “bodoh ah kamu mah”.
Saya: Bukannya Ade udah rangking satu, masa mereka bilang bodoh?
Luqman: ah tetep aja, walau udah rangking satu juga mereka bilang bodoh.
Saya: selain itu apa lagi?
Luqman: Sebenarnya bukan itu aja. Sekarang ini kepala sekolahnya jadi aneh.
Saya: Aneh gimana?
Luqman: Terlalu cerewet dan terlalu ngatur.
Saya: Misalnya?
Luqman: Kalau kita udah masuk kelas ya, Si ibu datang, terus bilang, “Awas kursinya jangan nempel ke tembok. Nanti temboknya lecet. Nanti Pak Haji (pemilik rumah) marah.”
Saya: Mungkin memang begitu permintaan Pak Haji.
Luqman: Tapi atuh tersiksa kalau gitu mah. Sampah juga. Perasaan tiap saat terus ngingetin, “Awas ya, sampah, nggak boleh ada sampah satu pun di lantai.”
Saya: Hmmm… ya, habisin dulu sampai akhir bulan ya.
Luqman: Ya, oke lah. Sampai bagi raport. Kan kemarin baru ujian.
Saya: Iya lah. Tinggal mikirin gantinya.
Hari ini, Rabu (28 September 2016)
Sore-sore Luqman mulai bersiap kursus walau kelihatannya ragu dan malas. Tapi akhirnya ia bawa tas dan pamitan. Dia sudah bisa berangkat sendiri jalan kaki, karena tempat kursusnya dekat. Hanya melintasi sawah, lalu nanjak dikit.
Jam 6 lebih, dia pulang.
Luqman: Nih Mah, raportnya (menyerahkan selembar kertas)
Saya: Wah, rangking satu lagi. Masih tetep mau keluar nih?
Luqman: Iya.
Saya: Nggak akan nyesel?
Luqman: Enggak. Udah bilang kok. Tapi baru ke teman-teman.
Saya: Melongo 😀
Luqman: Kalau bilang ke kepala sekolahnya, pasti panjang ditanya-tanya, “Ada apa? kenapa? bla bla bla”. Bingung kan jawabnya.
Saya sudah menganjurkan, meminta dia bertahan, dan sekarang mungkin saatnya menerima argumentasi dia? Menyetujui pernyataan bahwa anak punya hak untuk ikut memutuskan apa yang ingin ia kerjakan dan pelajari, saat inilah nampaknya kami sedang diberi pe er. 😀