Hampir 2 tahun, kami mempunyai jadwal rutin ke Bandung, seminggu sekali, setiap hari Kamis. Berangkat pagi jam 7-an, dengan tujuan pertama Taman Lansia. Anak-anak ikut kegiatan pramuka di sana bersama komunitas homeschooler Bandung. Di tahun pertama, usai ber-pramuka ria, kami ke tempat les piano di Pascal Hypersquare, lalu berlabuh di GGM untuk berlatih kung fu. Sehabis sholat maghrib, kami pulang menembus malam, kembali ke Tanjungsari. Memasuki tahun ke-2, jadwal ke Pascal diganti menjadi ke Arcamanik, untuk les biola, dan sempat diwarnai oleh kegiatan sekolah Azkia selama 1,5 bulan. Tapi “pelabuhan” terakhir dan jadwal pulang tetap sama.
Dalam perjalanan menuju rumah, anak-anak biasanya terkapar kelelahan di mobil. Kami kadang-kadang melewati Buah Batu untuk menempuh jalur tol menuju Cileunyi, namun di kali lain juga melalui jalur Cibiru, yang tanpa tol. Kedua-duanya tidak bebas dari macet. Kendaraan padat merayap di beberapa titik, menyisakan gas buangan yang membuat kepala pusing dan sesekali migrain. Pernah terjadi, hampir 1 jam kami terjebak macet di Bandung, hanya untuk sampai ke pintu tol. Namun melihat anak-anak gembira, kami mencoba untuk terbiasa dengan rutinitas itu. Dan, memang, ketika hal itu dijalani tanpa “protes”, kami bisa melakukannya selama hampir 2 tahun.
Tapi, memasuki tahun ke-3, ada beberapa hal yang kami putuskan serta prioritaskan, kami mulai akan fokus menyiapkan Luqman untuk mengikuti ujian kesetaraan SD tahun depan, dan pe er terbesar kami untuknya bukanlah semata konten ujian, namun membiasakan dia dengan cara berpikir dan berkegiatan akademik. Kami pun membuat jadwal belajar akademik rutin setiap pagi. Selain itu, untuk kegiatan sore hari, kami mencoba meminta dia untuk ikut kursus bahasa Inggris bareng kakaknya. Bukan untuk jago bahasa Inggris, namun untuk membuat ia makin terlatih dan terbiasa dengan suasana akademik. Tetap saja, dalam keadaan terpaksa atau sukarela, suasana sejenis itu toh akan ia hadapi. Tanpa mengenal dan mengalaminya sama sekali, akan membuat dia kesulitan nantinya. Akhirnya ia mau mencoba.
Karena belajar 2x seminggu, dengan jadwal yang berbeda antara dia dan kakaknya, otomatis, hal itu mengubah jadwal mereka. Senin, Rabu, Kamis sudah terisi, sehingga pilihan jadwal kosong untuk pergi ke luar “kampung” hanya Selasa, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Jadwal ke Bandung kami putuskan di hari Sabtu, dan otomatis, kami tidak ikut pramuka HS.
Setelah berjalan 2x dalam bulan Agustus, rencana lain pun bergulir, anak-anak mulai oke untuk berhenti kung fu di GGM. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya proses latihan yang kini melambat kemajuannya, karena guru yang kurang, dan selain itu, kemacetan Bandung yang luar biasa di hari Sabtu, sungguh membuat waktu menjadi sangat tidak efektif. Seminggu sekali ke Bandung mengajak anak berolah raga, namun beserta itu pula, kami menghirup polusi yang mengotori paru-paru. Rasionalitas diuji :D.
Perjalanan dari Tanjungsari ke Arcamanik di Hari Sabtu dimulai pukul 11.30 untuk mengejar jadwal les biola 13.30. Di sepanjang jalan Cileunyi-Cibiru kendaraan hampir pasti merayap. Jalanan penuuuuh kendaraan, dan sudah bisa dipastikan, debu serta asap knalpot menyerbu kami.
Jika dalam keadaan lancar kami bisa mencapai cibiru dalam 15 menit atau paling lambat 30 menit, saat macet, bisa sampai 1 jam. Entahlah, saya sendiri merasa hal itu merupakan pengorbanan yang terlalu besar, ketika sebenarnya ada alternatif lain. Saya harus mengacungkan jempol salut kepada para pengendara yang saban hari mengalami hal tersebut. Hebat, bisa bertahan dengan suasana itu, karena meski hanya seminggu sekali, saya kini sudah mulai berpikir, “panggil saja guru biola ke rumah.” 😀
BERSAMBUNG