Sedikit Latar Belakang. Setelah perang dunia ke-2, pupuk kimia, herbisida, dan pestisida telah digunakan secara berlebihan di tanah-tanah pertanian. Akibatnya, tanah jadi merana, keras, dan itu menandakan bahwa kesuburannya kian hilang. Fukuoka kembali ke desanya dengan mendapati kenyataan tersebut dan ia terpanggil untuk memperbaikinya. Ia lalu berhenti menjadi peneliti di sebuah laboratorium, dan memilih untuk bertani.
Awalnya, Fukuoka “mengobati” tanah pertaniannya dengan memberikan berkarung-karung bahan organik yang ia siapkan sedemikian rupa. Potongan ranting, daun-daun, dan serpihan pohon secara sengaja ia kumpulkan, dan ia mengangkutnya dari gunung ke ladangnya. Namun lama-kelamaan kelelahan menderanya dan ia pun berhenti. Suatu hari, tanpa sengaja Fukuoka melihat tunas-tunas padi dari biji yang terjatuh tumbuh begitu suburnya di antara sisa-sisa jerami. Dan ia terkejut saat melihat akar-akar padi dari benih yang jatuh sembarangan itu ternyata justru lebih kuat dan kokoh daripada yang ia perkirakan. Peristiwa itu memicu semangatnya sebagai peneliti untuk berkesperimen lebih jauh terhadap jerami.
Dan, Fukuoka menyaksikan lewat pengalamannya selama berpuluh tahun, penebaran jerami di areal pertaniannya, telah mengurangi gulma secara alami sekaligus menjadikan tanah semakin gembur dan subur setiap tahunnya. Ia tidak perlu lagi memberikan pupuk organik khusus, apalagi herbisida, pestisida, dan pupuk kimia. Cukup dengan mengembalikan bahan alami ke alam, maka tanah akan memperoleh kembali kesuburannya.
Selain itu, penebaran benih secara acak juga ternyata berkhasiat sebagai penangkal hama. Menurut Fukuoka, kebanyakan hama lebih mudah menyerang tanaman yang berbaris teratur ketimbang tanaman yang tumbuh secara acak.
Adapun semanggi, adalah “gulma” baik yang menurut Fukuoka sebaiknya ditanam bersamaan dengan padi, gandum, atau sayuran. Ia membuktikan bahwa semanggi merupakan mulsa alami saat benih-benih baru ditebar, sekaligus pupuk saat mereka layu dan mengering. Intinya, tidak semua gulma harus dijadikan musuh dan dimusnahkan.
Dalam konteks pendidikan, saya memaknai tanah sebagai lingkungan, tempat anak-anak beraktivitas. Baguskan kondisi tanahnya, maka tumbuhan akan berkembang subur dengan sendirinya. Jerami dan semanggi adalah simbol dari “makanan” bagi otak dan jiwa anak. Ia adalah sesuatu yang dekat dan dengan mudah diakses anak-anak. Ia terintegrasi dalam keseharian mereka. Ia bisa berwujud perilaku dan sikap positif yang dicontohkan orang tua. Ia bisa berbentuk aktivitas harian keluarga yang penuh semangat. Ia bisa berupa buku-buku bermutu yang saban hari dibaca anak. Ia bisa berupa teman-teman yang saling menginspirasi dan menyemangati. Ia juga bisa berupa sebanyak mungkin pengalaman nyata yang bisa diserap dan akhirnya memantik ide anak untuk mengembangkannya lebih jauh.
Secara garis besar, pesan dari filosofi jerami dan semanggi adalah sebuah saran bagi para pendidik agar tidak terjebak pada kerepotan menciptakan bahan-bahan ajar manipulatif dalam mengembangkan kemampuan anak, sementara mereka sendiri lupa memberikan teladan dan lingkungan yang kondusif agar potensi anak tumbuh.
Percaya atau tidak, bagi saya buku “Revolusi Sebatang Jerami” memang bukan sekadar tentang ilmu bertani. Banyak paragraf membuat saya berkontemplasi, menelusuri kepingan-kepingan pengalaman pendidikan yang saya alami dan saya terapkan kepada anak-anak saya. Recomended! 🙂