Kurang lebih 8 bulan lalu kami punya tetangga baru. Rumahnya berbatasan langsung dengan dinding belakang kebun saya. Kehadiran mereka membuat suasana sekitar menjadi lebih ramai. Kadang terdengar suara gelas dan piring berdeting samar, demikian juga tangis dan celotehan anak kecil mewarnai pagi dan sore. Semua masih dalam koridor wajar. Kami memakluminya.
Akan tetapi, pada 2 bulan terakhir ada masalah kecil. Kami mendengar suara aneh dari arah rumah tetangga kami itu. Setelah menebak-nebak, akhirnya kami yakin, itu adalah suara anjing. Awalnya ia menyalak hanya sekali-sekali, namun semakin hari semakin intensif, terutama jika penghuni rumah sedang pergi. Parahnya, ia tak hanya menyalak di siang hari, namun juga mengaum di malam hari.
Beberapa tetangga mulai membahas kejadian ini. Satu di antaranya bercerita, anak-anaknya ketakutan selama beberapa malam, mendengar suara auman melengking bak serigala. Mereka mengira ada setan tengah melintas, dan hingga larut tak bisa memejamkan mata.
Sedikit menggerutu? Jujur saja iya. Merasa heran dengan pilihan tetangga kami. Memelihara anjing dan mengurungnya di kandang sepanjang waktu membuat hewan itu mungkin tertekan. Karena itulah ia terus menggonggong dan menyalak, sementara pemiliknya lebih sering tak ada di rumah. Apa yang dipesankan Nabi saw tentang mulianya bersabar terhadap perilaku buruk tetangga mendadak terlupakan. Kami protes meski hanya di dalam senyap.
Namun lama-kelamaan, saya tak tahan lagi. Berbekal beberapa buah sayuran kebun, saya memutuskan untuk menjumpai sang tetangga. Bisa jadi, saya juga salah selama ini, tidak pernah memperkenalkan diri pada tetangga baru, dan ia pun bisa jadi malu atau belum punya waktu. Saya hanya sering mendengar suaranya dari balik dinding namun belum pernah melihat wajahnya. Kebangetan juga ya 😀
Dan nampaknya betul apa yang dikatakan Harper Lee, sang penulis To Kill A Mockingbird, “Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya … hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.” Itulah yang sebenarnya terjadi.
***
Setelah saya memencet bel, seorang wanita muda keluar. Usianya bisa jadi 6 atau 8 tahun lebih muda dari saya. Ia nampak kikuk, minta izin ke dalam dulu untuk menutup pintu kamarnya. Sesudah itu ia mempersilakan saya masuk. Obrolan bergulir. Saya memperkenalkan diri seperlunya. Saya juga meminta maaf karena baru saat itu saya bisa mengunjunginya. Dan subhanallah, ia merespon dengan ramah. Bahkan sebelum saya membahas persoalan yang hendak dibincangkan, ia sudah lebih dulu berkata, “Oh iya, Bu. Maaf ya, pasti suara anjing dari belakang mengganggu ya?”
Saya jadi berbalik kikuk mendengarnya, tapi juga tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menyampaikan fakta perasaan kami, “Oh, iya, Bu. Memang tetangga-tetangga sekitar kita juga banyak yang bertanya-tanya tentang anjing ibu. Sering menggonggong ya Bu. Anak-anak di rumah bawah malah ada yang tidak bisa tidur karena ketakutan.”
Akhirnya berceritalah si ibu bahwa anjing itu bukan miliknya. Ia dibawa dari rumah kakak suaminya. Si kakak memiliki 2 anjing dan keduanya sering bertengkar. Karena itulah satu anjing dititipkan di rumahnya. Saya mengangguk-angguk mulai mengerti.
Saat berpamitan, saya menitipkan harapan terakhir kepadanya, “Mudah-mudahan anjingnya bisa segera mendapat tempat yang lebih nyaman ya, Bu. Di kandang terus mungkin dia bosan. Jadinya menyalak terus.” Si ibu mengangguk dan tersenyum dan sayapun merasa lega.
***
Sebulan berlalu sesudah itu dan Ramadhan hampir tiba. Pasca kunjungan saya ke rumah si tetangga jangan kira semua berubah sesuai harapan. Situasi tetap sama. Anjing itu tetap ada di kandangnya. Ia terus menyalak saat bosan dan mengaum panjang saat malam tiba. Beberapa orang bertanya dan terus bertanya tentang itu, dan saya menjawab dengan jawaban yang sama, “Anjing itu titipan kakaknya.”
Di luar semua itu, pada satu titik saya merasa dipermainkan oleh perasaan dan pikiran saya sendiri :). Well, bukankah ayam-ayam kate yang kami pelihara pun kukuruyuk berulang kali dalam sehari, dan saya tidak terganggu. Ketika saya tidak bisa mengubah suara anjing menjadi suara ayam, dan tidak berhak juga memaksa tetangga untuk membawa anjingnya keluar dari halaman belakang rumahnya, maka apa salahnya jika saya belajar menerima, walau saya tidak begitu menyukainya.
Pikiran itu memang luar biasa. Ia bisa mengarahkan kita ke mana saja dan menjadikan kita menjadi apa saja, serta membuat kita melakukan apa saja. “Switch” pikiran kita, maka fakta yang sama bisa memberi dampak berbeda. Sesudah pencerahan itu datang (dan saya harus bersyukur kepada Allah atas semua itu), saya tak lagi mendengar gonggongan anjing sebagai gangguan berarti.
Dan saat saya menuliskan catatan ini, suara anjing sudah beberapa hari lenyap, benar-benar lenyap, bukan “pura-pura” terdengar lenyap. Wallahualam apa sebabnya. Saya belum sempat mencari tahu.
20 Ramadhan 1435 H