Kamis (16 April 2016), sepulang dari Cihideung kami terjebak macet di jalan Cihampelas, Bandung. Tak hanya macet, kami juga berada di tengah hujan badai. Air di jalanan mengalir deras. Ada seorang pemotor terjatuh karena roda depan menginjak lubang. Syukurlah ia bisa bangun lagi dengan segera. Suasana sedikit mencemaskan. Dan puncaknya, mesin mobil tua kami mulai protes tepat di ujung pertigaan Cihampelas-Pasupati.
Setelah menepi, kami dikejutkan dengan sapuan air hujan yang disertai angin melibas kaca depan. Jarak pandang sangat pendek. Tak ada kata yang harus diucapkan selain, “Anak-anak kita berdoa, bersholawat. Tak ada yang bisa menolong kecuali Allah.”
Tak lama kemudian alhamdulillah curah hujan mulai berkurang, mesin mobil pun hidup lagi. Kami melanjutkan perjalanan ke arah jalan layang pasupati. Mobil beriringan panjang sepanjang jalan layang. Meski padat alhamdulillah bisa jalan pelan-pelan. Namun tak jauh di depan kami, nampak sedan merah berhenti. Mungkin mogok sejenak seperti kami tadi. Sopirnya melambaikan tangan. Ada dua makna dari lambaian itu: minta bantuan atau menyuruh kami yang dibelakang untuk melewatinya. Kami memilih berhenti. Siapa tahu dia butuh bantuan. Tapi sebelum kaca dibuka, di belakang terdengar klakson menjerit nyaring. Wow! Betapa kehidupan di jalanan itu memang keras 🙂 Karena khawatir kemacetan makin mengular, kami akhirnya melaju. Pemobil yang menjeritkan klakson nampak menyalip kami, dan tahukah, yang paling penasaran dilihat adalah pelat nomornya. Bertuliskan D, yang berarti tuan rumah, dan pelatnya berwarna merah.
Bersambung………..