(Saat menulis dongeng ini saya terinspirasi buku karangan Harper Lee , “To Kill a Mockingbird”. Kebanyakan prasangka tidaklah seperti yang sebenarnya terjadi.)
Enzi, pangeran kerajaan Rube. Usianya masih 10 tahun, tapi tingginya sudah melebihi pintu. Ia harus membungkukan badannya saat keluar atau masuk ke dalam istana.
Mulanya ia rela dengan keadaan itu, asalkan bisa datang dan pergi sesuka hati membuat tali rami dan menganyamnya menjadi topi. Namun akhir-akhir ini, ia mulai merasa sedih. Anak-anak di dalam istana maupun di luar istana selalu berbisik-bisik, “Awas! Enzi pangeran yang aneh. Mungkin sebentar lagi ia akan menyerang kita atau memakan ayam-ayam kita.”
Di sekumpulan anak lainnya tersebar juga kabar, “Enzi mungkin berasal dari keluarga raksasa, atau ayahnya dikutuk oleh raksasa. Kita harus berhati-hati.”
Begitulah dari mulut ke mulut, berita tentang Enzi beredar di tengah penduduk kerajaan Rube. Dan semakin hari berlalu, berita itu membuat Enzi semakin dijauhi.
Enzi mendengar sendiri, ketika melintasi rumah-rumah penduduk, para Ine di kerajaan Rube berteriak panik memanggil anak-anaknya, “Shiba, Jamer, Nafre, masuklah lekas! Kalian dalam bahaya.”
Berhari-hari, berminggu-minggu, bertahun-tahun, sejak Enzi menjadi lebih tinggi dari teman sebayanya, bisikan-bisikan itu, teriakan-teriakan itu, cemoohan itu tak henti didengar pangeran kerajaan Rube. Ibu suri dan raja hampir putus asa, sampai suatu hari keajaiban itu datang.
Tepian telaga, tempat Enzi menganyam tali ditumbuhi rumput jarum dan pohon gemuk beranting kerdil, Zedi namanya. Saat kemarau tiba, bunganya seperti menyala. Di tempat inilah Enzi bebas berdiri ataupun duduk. Beratapkan langit , tanpa pintu, tanpa jendela, ia tak perlu takut kepalanya terbentur benda apapun.
Hari ini, seperti juga di hari-hari lainnya, teman setia Enzi di telaga ini adalah daun-daun memala. Ia tumbuh mengambang di atas air. Daun inilah yang dijadikan Enzi bahan untuk membuat tali rami.
Enzi tertawa saat burung gelatik mematuki kutu di daun memala. Hewan-hewan itu jauh lebih ramah daripada anak-anak Rube yang lari saat berjumpa. Pikirnya.
“Syuuut! Clerp!” sebuah benda bergerak cepat melintasi kepala Enzi, membuatnya terkejut. Sekitar sepuluh langkah di depannya, berdiri seorang anak lelaki, mungkin sebaya, meski ia tak setinggi Enzi. Anak itu menunjuk ke arah pohon Zedi. Rupanya bumerang yang dimainkannya, bersarang di sana.
“Akan Kuambilkan,” ujar Enzi. Tangannya yang panjang dan tubuhnya yang jangkung mampu menjangkau dahan Zedi paling tinggi. Enzi memberikan bumerang itu. Anak lelaki didepannya melangkah ragu.
“Tak perlu takut, Teman. Ambillah!” Secepat kilat anak lelaki itu mengambil bumerang lalu berlari. Enzi tertawa hingga gigi-gigi putihnya terlihat semakin putih di antara bibirnya yang berwarna gelap.
Keesokan harinya, saat Enzi kembali menganyam tali rami, dua anak lelaki bermain bumerang lagi. Satu bumerang tersangkut di kaktus raksasa. Enzi mengambilkannya.
Hari berikutnya, empat anak Rube bermain lagi, tak jauh dari telaga. Mereka tak hanya bermain bumerang, tapi juga lompat tali. Saat tali mereka putus, Enzi mengulurkan satu tali baru, “Ambil ini!”
Di hari kelima, sepuluh anak Rube datang bermain. Empat di antaranya mendekati dan memberi Enzi mainan baru. Enzi berkata, “Terima kasih kawan, siapa nama kalian?”.
“Jamurse, Husani, Nafre, Imose,” berebut mereka memperkenalkan diri. Gigi-gigi putih mereka menjadi terlihat sangat putih saat tertawa, sama seperti Enzi.
Seminggu berlalu. Penduduk Rube merasa ada yang tak biasa. Apakah itu? Mereka lalu saling bertanya. “Aku merasa ada yang hilang,” kata seorang ibu di pasar kota. “Aku juga,” sahut yang lain.
“Ada apa ya sebenarnya?” ibu lainnya menimpali. Pasar tiba-tiba menjadi gaduh karena orang saling bertanya. “Lapangan tempat anak-anak bermain, sekarang sepi!” seru salah seorang di antara mereka. Para ine saling menoleh, “Lalu di mana anak-anak kita bermain?” Semuanya menggeleng.
Di tepi telaga, tali-tali rami dari daun memala melintang kian kemari. Enzi mengikatkan ujung-ujungnya pada batang gemuk pohon zedi, yang beranting kerdil. Di sudut lain, lima ayunan, juga dari tali rami, sudah terpasang. Di sebelah Timur, di dekat batu besar, tiang bertali panjang telah terpancang. Anak-anak Rube berayun gembira.
Beberapa di antara mereka duduk-duduk di dekat Enzi, “Ternyata kau sama saja seperti kami,” Jamurse menepuk-nepuk bahu Enzi.
“Kau boleh menjadi raja kami suatu hari nanti. Ternyata kau tidak memangsa ayam-ayam kami,” lanjutnya, Anak-anak itu tertawa.
Aku akan bilang pada ibuku sore ini, “Aku bermain dengan Pangeran Tali Rami,” ujar Nafre. Senyum Enzi mengembang. Tidak sia-sia ia terus memintal daun memala menjadi tali. Kini teman-temannya tidak takut lagi.***
Catatan:
Ine = Ibu
==============================================================================
Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Al Hujuraat:6)