Hikmah Malas
Hidangan untuk makan malam belum tersedia. Meskipun ada jagung, kentang, dan kol di dapur, semuanya mentah. Pergi ke warung nasi, jaraknya cukup jauh. Pengorbanan sepertinya akan menjadi terlalu besar untuk sekadar makan. Kemarin, rasa malas memang meletup-letup nyaris melumatkan rasa lapar dan tanggung jawab kami.
Tapi, perut yang kukuruyuk dan rasa kasihan pada orang-orang tersayang, alhamdulillah membuat si malas bisa dilawan. Pilihan yang diambil, “memasak saja”. Tanpa banyak berpikir, bersama si gadis saya berkolaborasi. Jagung dipipil lalu ditumbuk plus campuran bawang merah, kentang dikupas lalu dipotong dengan pisau “gelombang”, kol dicuci lalu dipotong dan ditumis. Jangan tanya apa nama masakannya. Episode seperti itu adalah darurat malas. Berhasil bangkit dan beraksi saja sudah merupakan prestasi.
Singkat cerita, masakan jadi apa adanya. Hidangan makan malam tersaji di meja. Entah karena adrenalin meningkat gara-gara aksi darurat itu, Azkia malah bersemangat langsung mencuci perabotan sampai wastafel kinclong. Disarankan makan dulu, dia menolak. “Kalau ditunda, nanti malas,” katanya.
Saat menatap makanan di piring, saya jadi terhubung dengan semua proses yang telah terjadi. Jagung, kentang, kol, atau apapun bahan yang tersedia di hadapan kita, selagi ia mentah, seringnya tidak memberi banyak manfaat, bahkan daging dan ikan sekalipun. Hanya setelah diolah ia menjadi berarti.
Mungkin begitulah juga potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Jika dibiarkan mentah, sekalipun besar dan nyata ada di depan mata, maka ia akan berakhir sebagai potensi belaka, dan bahkan mungkin mengering, membusuk, dan musnah. Wallahualam.