Bagi seorang homeschooler, kursus atau kegiatan yang sejenis itu sebenarnya lebih pada pemantik keluarnya potensi yang sudah dimiliki anak. Kadang-kadang memang ada juga yang menganggapnya useless, dan dengan pongah berkata, “Ah yang gitu mah, saya juga bisa.” Tapi setelah saya renungkan, sepertinya kurang tepat kalau kita memandang seremeh itu. Karena seperti halnya gas di dalam tabung, sekalipun isinya penuh, jika tidak ada pemantiknya, ia tidak bisa menyala dan dipakai memasak 🙂
Dalam praktiknya, bagian yang orang tua merasa bisa, seringkali tetap saja tidak bisa tertransfer atau tertularkan minatnya kepada anak-anak. Mengapa? Persoalannya ada di manajemen waktu dan juga manajemen emosi yang memang tidak semua orang mampu menatanya dalam waktu cepat. Semua memang berproses, namun saya sendiri merasa kasihan sekaligus merasa berdosa kepada anak-anak jika mengulur waktu untuk menstimulasi mereka hanya karena menunggu proses dalam diri saya selesai.
Oleh karena itu, seperti yang sudah sering saya afirmasikan kepada diri sendiri lewat tulisan-tulisan lama, “Orang tua adalah fasilitator, bukan (tidak mesti) menjadi tutor”. Mari lihat sekeliling. Jika sekiranya ada orang-orang di bidangnya masing-masing bersedia membuka “kelas” bagi anak-anak, tak ada salahnya untuk dimanfaatkan. Kita bukanlah makhluk yang sempurna yang bisa segalanya. Dan bukankah memang semestinya begitulah anak-anak juga memiliki pandangan terhadap dirinya dan orang di sekelilingnya. Ajarkan pada anak secara kongkret bagaimana mereka bisa menghargai diri mereka apa adanya dan menghargai potensi orang lain juga dengan selayaknya.