Sabtu malam, 21 Januari 2017, gerimis mulai turun menyirami kota Bandung. Saat kami tiba di lampu merah Jl. Riau-Ahmad Yani, seorang bapak dengan kanebo di tangan tiba-tiba mendekat lalu bersiap membersihkan kaca depan mobil tua kami. Tapi sebelum ia sempat mengelapkan kanebonya, suami saya memberikan beberapa keping uang receh kepadanya.
Sesudah itu, saya pikir semua akan selesai begitu saja seperti yang biasanya terjadi. Tapi tahukah Teman, beliau memegang recehan itu di kedua tangannya yang tertangkup di dada, dan berkata, “Semoga Allah membalas kebaikan bapak dan ibu dengan yang lebih banyak. Maaliki yaumiddin. Saya selalu ingat surat Al Fatihah itu. Saya tidak bisa membalas, hanya Allah Penguasa Hari Pembalasan bisa membalas kebaikan.”
Terus terang, mendengar ucapan beliau tenggorokan rasanya tercekat. Malu luar biasa. Recehan yang tak seberapa beliau syukuri dengan begitu rupa, hingga mendoakan kami dengan doa yang begitu baik. Ia bahkan belum menghitung jumlah uang yang ia terima. Bisa jadi hanya 1000, 500, atau bahkan 200 rupiah. Saking takjubnya saya atas sikap si Bapak, mau merogoh tas untuk nambahin uang atau mencari beberapa buah jeruk di kantung plastik, biar pemberian kami agak sedikit sepadan dengan doa beliau, tangan seolah terkunci. Saya akhirnya berkata kepada beliau, “Semoga Allah memberikan kelapangan dan keberlimpahan rejeki juga kepada Bapak.”
Si Bapak pembawa kanebo seolah “dikirim”-Nya untuk benar-benar mengingatkan kami, betapa banyak yang seharusnya kami syukuri.