Kurikulum selalu ditanyakan saat bersinggungan dengan homeschooling. Apa sebenarnya bahasa yang lebih mudah untuk menerjemahkan kurikulum? Saya lebih suka menyebutnya outline atau kisi-kisi. Kurikulum hanyalah peta yang memandu kita untuk menentukan topik apa yang penting dipelajari anak. Penjabarannya tentu sangat beragam. Setiap keluarga bisa menciptakan kegiatan belajar yang amat kaya dari sebuah kisi-kisi pelajaran.
Salah satu keunikan homeschooling terletak pada keleluasaan untuk menentukan urutan prioritas. Kalau kurikulum diknas memiliki urutan-urutan yang sudah baku, maka homeschooler bisa mengubahnya sama sekali. Mungkin istilah level-level kelas 1, 2, 3, dan seterusnya tidaklah berlaku dalam homeschooling. Anak homeschooling usia 8 tahun bisa jadi masih suka mewarnai sekaligus sudah menguasai pelajaran matematika kelas 6 SD. Belajar biologi bisa jadi tak berawal dari definisi biologi, tapi dari kegiatan mengamati kupu-kupu atau serangga di kebun belakang. Alasannya sangatlah sederhana, “Kita akan menyerap pelajaran lebih banyak ketika kita berminat dan antusias untuk mempelajarinya”.
Bagi saya sendiri, kurikulum selalu menjadi sebuah tantangan. Sekalipun ada kurikulum non diknas yang sudah cukup sistematis, namun tantangannya justru bukan di kurikulumnya, melainkan komitmen dalam menjalankannya. Setumpuk poin pelajaran yang terangkum dalam kurikulum bisa saja hanya akan menjadi deretan “waiting list” seumur hidup jika kita tidak punya komitmen.
Karena di Indonesia belum ditemukan kurikulum alternatif (non diknas) maka biasanya, homeschooler Indonesia mengambil kurikulum dari luar negeri. Perjalanan edukasi informal di Eropa dan Amerika yang sudah terbilang tua, telah menghasilkan banyak konseptor mumpuni. Di era internet, konsep-konsep itu bisa diakses dengan lebih mudah oleh orang-orang di seluruh dunia. Beberapa di antaranya bisa kita lihat pada beberapa tautan berikut ini:
http://www.lessonpathways.com/info/homeschool
http://www.abeka.com/HomeSchool/
https://www.time4learning.com/homeschool-curriculum.htm
http://amblesideonline.org/curriculum.shtml
Kami sendiri sempat memakai kurikulum nasional sebagai salah satu pilihan, karena kami memang masih berminat untuk mengikutkan anak ujian kesetaraan. Namun sekarang kami mencoba untuk sejenak keluar dari tatanan baku kurnas. Kami memilih untuk memberikan kegiatan yang sudah jelas-jelas diminati anak-anak dan mereka memiliki “passion” untuk mendalaminya. Ijazah non formal kami kesampingkan dulu dari daftar prioritas. Karena kami melihat, konten kurnas, betapapun mungkin disusun dengan sebuah niat baik, ternyata lebih banyak membebani anak ketimbang membuat anak-anak termotivasi untuk mengembangkan kemampuan dirinya.