Luqman ingin beli surabi sejak kemarin. Lebih tepatnya sih, saya yang berjanji padanya untuk jalan pagi sekalian beli surabi. Sudah lama ia tak makan makanan kesukaannya. Saat saya sudah hampir lupa dengan janji itu, Azkia mengingatkan dengan antusias. Tapi sayang, saya tiba-tiba punya urusan “penting” di pagi hari yang menyedot konsentrasi. Timbang-timbang coba merayu Luqman untuk menundanya besok, tapi di sisi lain ada ketukan-ketukan di hati yang mengingatkan saya untuk mengajarkan arti menepati janji. Kapan lagi? Inilah saatnya, saat anak saya masih kecil. Kamipun berangkat.
Lokasi warung surabi lumayan jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki, mungkin sekitar 500 meter lebih. Setelah setengah perjalanan, galau tiba-tiba melanda hati saya lagi. Hari sudah siang, jangan-jangan surabinya sudah habis. Selain itu, tukang sayur pasti datang, dan saya ingat stok bahan makanan juga memang kurang. Saya sedang malas pergi ke pasar. Jika ia datang dan kami tidak ada berarti saya kehilangan kesempatan untuk belanja.
Sayapun menego Luqman lagi agar rencana beli surabi dipindah besok. Tapi, jangan tanya dia, saya hafal betul, anak saya bukan tipe anak yang suka putar balik begitu saja setelah memutuskan untuk berjalan. Bahkan saat ada anjing lewat dan Azkia mengingatkan saya bahwa kami pernah dikejar anjing itu di pesawahan saat jalan-jalan yang terakhir, Luqman bergeming tetap ingin melanjutkan perjalanan. Jadi, antara ketukan hati untuk terus jalan dan berbagai alasan untuk balik lagi, akhirnya saya putuskan lanjut saja secepatnya.
Kami hampir tiba. Tak jauh dari warung surabi saya melihat potongan-potongan bambu segar tersusun di sebuah halaman rumah. Ada seorang bapak nampak sedang membenahinya. Sambil jalan saya bilang ke anak-anak, “Wah coba ya bambu itu bisa dibeli.” Berhubung ingin cepat sampai, niat itu sementara ditunda.
Asap dari tungku pembakaran surabi masih mengepul. Kami menebak-nebak. Ternyata masih ada. Luqman tersenyum gembira. Kamipun pesan beberapa buah. Sambil menunggu surabi matang, iseng saya berbincang dengan bibi warung tentang bambu, kalau-kalau ia tahu di mana bisa memesan bambu yang sudah dipotong-potong. Si bibi mendadak antusias, “Ibu perlu berapa? Saya punya bambu baru ditebang.” Saya bilang, “Hanya sedikit. Buat bikin rak tanaman.”
Si bibi bergegas pergi. Ternyata rumahnya tidak menyatu dengan warung itu. Ia pergi menemui suaminya dan tak lama kemudian ia kembali. “Ayo Ibu liat dulu aja ke sana, berapa butuhnya.” Sayapun mengikuti si bibi. Rupanya halaman penuh potongan bambu yang saya lihat tadi adalah halaman rumah si bibi, dan bapak yang ada di sana adalah suaminya. Sungguh sebuah kebetulan yang keren. 🙂 Tak menunggu waktu lama, transaksi pun terjadi. Harga bambu sudah ditentukan beserta ongkos angkutnya. Kamipun pulang dan si bibi beserta suaminya siap mengemas bambu.
Menjelang belokan menuju rumah, 50 meter di bawah nampak anjing yang sebelumnya berpapasan dengan kami sedang berjalan santai walau seekor kucing terlihat takut karenanya. Anak-anak bergegas masuk rumah, khawatir anjingnya mendekat. Akhirnya kami tiba dengan selamat, tinggal menunggu tukang bambu datang.
Tak lama kemudian terdengar panggilan khas pagi hari, “Sayurr!” Ah rupanya bibi sayur baru datang. Alhamdulillah. Dan bersamaan dengan itu, dari belokan jalan nampak pula tukang bambu datang ditemani istrinya yang sudah lebih dulu tahu rumah kami.
Selalu mendapat “keajaiban” saat memutuskan maju sampai selesai, terlebih saat diniatkan untuk menepati janji 😀 (Pelajaran dari anak saya hari Sabtu kemarin)