Hari Sabtu, sehabis Luqman dan Papanya mengambil raport dan ijasah di Komunitas Pewaris Bangsa, kami menyusuri jalanan Kosambi. Saya mencari-cari tempat photo copy, mau membeli map plastik untuk melapisi map kertas berisi ijasah. Maklumlah, karena nggak bawa kendaraan, saya harus mengantisipasi kalau-kalau kami kehujanan, dan dokumen juga bisa terkena imbasnya.
Setelah beberapa meter berjalan, tak juga kami temukan tempat photo copy ataupun toko buku. Tapi saya reflek berhenti di sebuah toko plastik. Masuklah saya ke sana. Kalaupun nggak ada map yang saya bayangkan, saya berniat membeli plastik bening biasa. Terpenting, si ijasah dan raport terlindung dari hujan.
Saat masuk, saya langsung tahu, pemilik toko itu beretnis Tionghoa. Di balik etalase sebelah kanan, seorang pemuda spontan bertanya, “Beli apa, Bu?”
“Map plastik,” saya bilang.
Ia lalu menunjuk ke arah seorang “Enci”, mungkin Ibunya atau mungkin juga kakaknya, saya tidak bisa menebak dengan pasti.
Saya langsung menemui Si Enci.
“Map plastik, Ci,” ujar saya.
“Wah, nggak ada kalau map. Paling juga plastik biasa.”
“Ya, nggak apa-apa deh Ci. Minta yang ukurannya segini,” jawab saya, sambil menunjukkan map merah berisi ijasah.
Sebelum mengambil plastik yang saya minta, Si Enci tertegun sebentar, “Tapi belinya musti satu pak. Enggak jual satuan. Nggak apa-apa? Nggak kebanyakan nanti?” ujarnya.
“Ya, gimana lagi. Nggak apa-apa lah,” saya bilang.
Ia pun mengambil meteran untuk mengukur map.
“Tapi kalau bisa yang jenis OPP, yang ada perekatnya,” lanjut saya.
“Yang kayak gitu malah nggak ada deh kayaknya. Buat apa sih Bu? Buat ngirim paket?” tanya Si Enci.
“Bukan. Ini saya bawa ijasah anak saya. Takut kena hujan.”
“Ooh… kalau gitu pakai plastik yang ada clip-nya, mau?”
“Oh iya ya. Ada Ci?” saya sumringah.
“Ada. Ini mah bisa satuan. Seribu satunya,” jawab Si Enci sambil mengambil plastik yang dimaksud. Tanpa saya minta ia memasukkan map merah di atas etalase ke dalamnya.
“Tuh, kan cukup,” ujarnya. Si Enci nampak ikut senang.
“Saya beli dua deh Ci. Minta tolong masukin juga plastik kosongnya,” saya tak kalah senang.
Selembar uang dua ribu rupiah saya berikan. Sesudah itu saya ucapkan terima kasih dan berpamitan.
Setelah kami berada di dalam angkot untuk melanjutkan perjalanan, saya ceritakan kisah itu kepada anak-anak, dan bertanya, “Tahu nggak apa yang hebat dari sikap Si Enci?”.
Tanpa menunggu jawaban mereka, saya jawab sendiri 🙂
“Dia bukan hanya jualan, tapi mau betul-betul melayani pembelinya.”
“Apa coba akibatnya?” tanya saya lagi.
“Apa?” Luqman balik bertanya
“Walaupun tadi dia hanya dapat dua ribu rupiah, tapi kalau Mama ke daerah situ lagi dan nyari barang yang sejenis, toko itulah yang pertama kali Mama datangi.”
Itulah kekuatan melayani. Ia nampak remeh dalam jangka pendek, namun besar jika dilihat dalam jangka panjang. Ia seperti butiran benih, yang sepintas tak berharga, padahal berpotensi menghasilkan buah jika ditanam dan dipelihara.