Halaman berantakan. Sisa-sisa kemarau berupa tatanan tanaman yang tidak menentu sangat mengganggu. Saya mengajak anak-anak untuk bergabung membantu bersih-bersih. Tapi, ajakan ternyata tidak disambut mulus. Mereka masuk ke dalam dan sibuk dengan urusannya sendiri.
Namun tak lama kemudian Azkia keluar, berdiri mengamati saya mengubur daun-daun lapuk yang bertumpuk. Saya ajak ngobrol dia:
Saya: “Kakak tahu nggak, ada lho orang-orang yang tertantang untuk hidup tanpa uang. Ingat nggak kisah Family Robinson?”
Azkia: “Iya”
Saya: Nah, mereka kan sebenarnya hidup tanpa uang di pulau terpencil itu. Kakak tahu kan apa yang mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup?
Azkia: Iya. Mereka bercocok tanam, berburu, dan memelihara hewan ternak.
Saya: Dan kalaupun mereka punya uang, di tempat itu uang tidak laku, ya kan?
Azkia: Iya juga sih.
Saya: Mau nggak Kakak nyobain petualangan yang mirip dengan itu?
Azkia: Di mana? Gimana caranya? (atensi mulai naik 🙂 )
Saya: Nggak usah pergi ke mana-mana. Di sini aja coba di sekitar rumah kita. Ada lahan kosong seperti ini sebenarnya cukup untuk bercocok tanam dan beternak dengan lebih serius. Selama ini kan kita nanem-nanem hanya sesekali saja, tidak benar-benar diurus. Kalau mau hidup seperti keluarga Robinson, otomatis harus lebih serius. Kalau ada uang sih biar untuk keperluan lain aja.
Azkia: Boleh juga.
Setelah itu, saya minta tolong dia menyapu sisa daun yang masih berserak. Sambil nyapu Azkia berujar, “Kalau gitu Kakak pengen ngurus kebun sendiri.”
Saya: Tentu saja boleh. (Saya tersenyum simpul)
Dan tak lama kemudian, anak lelaki saya yang kadang cuek datang pula dari rumah, “Mah, Ade pengen ih mengolah kebun sendiri. Maksudnya, dikasih lahan sendiri. Mau dipagarin terus ditanami.”
Mestakung, kaan! 😀
Saya: Ya udah, bagi-bagi aja bagian mana yang ingin jadi lahan kalian.
Mereka pun sibuk menentukan bagian lahan dan mulai membuat perencanaan jenis tanaman. Let see. Walau baru sebuah rencana dan keinginan, fase ini adalah sebuah kemajuan. Sekalipun saya sudah mengajak mereka bertanam sejak kecil, namun keinginan untuk bertanam sendiri dengan sebuah tujuan, bisa jadi baru kali ini mereka lontarkan.
Selain itu, perisitiwa ini membuktikan bahwa cara berkomunikasi adalah bagian penting dalam berhubungan dengan manusia, termasuk manusia yang masih bertubuh kecil seperti anak-anak kita. Dengan pola ajakan, anak-anak kadang merasa dipaksa, namun dengan menyuntikkan ide, mereka seolah bangkit dengan kesadaran mereka sendiri, dan mereka merasa menjadi subjek, bukan objek.