Sambil mengerjakan ini dan itu, saya mulai lagi menggarap penulisan buku nonfiksi yang sudah disetujui konsepnya oleh penerbit. Salah satu tahapan yang tidak mudah bagi saya dalam menyusun buku nonfiksi adalah mengumpulkan dan memilih referensi. Meski temanya sederhana, namun setiap informasi yang diberikan harus bisa dipertanggungjawabkan.
Karena itu, saya tidak cukup hanya membaca satu sumber, melainkan beragam sumber. Jika referensi berasal dari internet, tak jarang, dari sekian banyak sumber isinya hanya copy paste, sehingga perlu dicari mana sumber pertamanya, dan tak jarang juga dari sekian banyak sumber, beberapa di antaranya saling bertentangan, sehingga saya perlu memilih yang paling valid.
Namun betapapun sulitnya proses itu, saya banyak mengambil hikmah dari proses penulisan buku nonfiksi ini. Dua di antaranya: saya jadi “dipaksa” membaca dan belajar hal-hal baru di luar bidang saya, dan kedua, saya juga jadi “dipaksa” untuk peduli dengan keotentikan sebuah informasi.
Di era berlakunya UU ITE, saya kira hal tersebut sangat penting diperhatikan dalam aktivitas lainnya, termasuk saat bermedia sosial. Jangan asal Klik like apalagi share sebelum betul-betul membaca dan meneliti kebenaran informasi yang diterima. Jangan hanya baca judul dan paragraf pertama untuk memberi jempol apalagi mencaci maki. Bacalah secara utuh, periksalah dengan teliti kebenarannya, dan tahan jempol jika untuk melakukan kedua proses itu kita tak punya cukup waktu. Sudah banyak terjadi, menyebarnya informasi yang tidak otentik, bisa menyebabkan petaka. Saya teringat sebuah nasihat, “Dalam ketidaktahuan dan keraguan, pilihan terbaik adalah berhenti atau diam, hingga semuanya nyata dan terang.”