Satu setengah bulan mencoba untuk sekolah, Azkia terlihat begitu senang. Ia menikmati semua proses meskipun saya tahu ia capek sekali. Kecenderungan interpersonal nampaknya menjadi salah satu pemicu ia begitu kukuh untuk maju terus bersekolah. Belajar bersama teman lain, seru-seruan, main angklung bersama, berolah raga bersama. ketawa bersama, dan yang semacam itu menjadi bagian dari kebutuhan dia. Meski sudah 3 kali kami bertanya apakah ia akan terus sekolah atau berhenti, jawabannya tetap sama. Ia masih ingin terus sekolah. Kami sebagai orang tua berusaha untuk adil menyikapi hal itu. Kami coba menahan diri untuk tidak mengintervensi.
Namun hal itu tak bisa berlangsung lama. Tanggal 10 September lalu Azkia mulai kepayahan. Mulai pilek, mulai sakit tenggorokan. Hebatnya, ia tetap memaksakan diri ingin pergi sekolah. Jam belajar dari pukul 7 pagi dan berakhir pukul 3 sore bukanlah mainan. Durasi waktu sebanyak itu tak ubahnya seperti jam kerja karyawan. Untuk anak seumur Azkia, dan tidak terbiasa dengan pola waktu sekolah. Sangat wajar akhirnya akan menguras energi dan membuat daya tahan tubuh menurun karena kelelahan. Jika awalnya Azkia tertib menghabiskan bekal makan siangnya, lama kelamaan selera makan mulai turun. Akibat terburu-buru mengikuti acara dadakan yang diselenggarakan sekolah, ia hanya sempat menyuapkan dua suap saja makanan saat makan siang. Dan itu berlangsung hingga ia pulang ke rumah pukul 15.30.
Saya dan suami adalah pasangan enterpreneur :D, sangat sensitif dengan hal-hal yang bersifat “pemaksaan”, baik secara eksplisit maupun implisit. Ketika anak kami tidak rasional lagi, menyerah begitu saja pada tuntutan aturan yang sebenarnya bisa dinegosiasikan, maka kami melihat hal itu bukanlah situasi yang baik. Hal yang kami khawatirkan adalah menguatnya karakter yang tidak merdeka.
Kami sama sekali tidak menyalahkan sekolah, karena mereka hanya menjalankan kurikulum pusat. Kami justru lebih mengevaluasi pola asuh kami sendiri. Selama 11 tahun lebih puteri kami ada dalam asuhan kami, saat dilepas ke wilayah eksternal, ternyata dia belum kuat, belum survive. Ia masih menjadi pribadi yang bisa dikendalikan pihak lain dan tidak punya keberanian untuk mengambil sikap berbeda.
Terlepas dari subjektivitas saya tentang pendidikan anak saya sendiri, saya juga prihatin dengan kurikulum yang saat ini dijalankan. Maksud baik para pembuat kurikulum agar setiap pelajaran terintegrasi dengan dunia nyata, harus berhadapan dengan fakta bahwa membuatnya dalam format kelas, akan butuh penyesuaian yang panjang, terutama dari sisi guru. Alih-alih ingin memfasilitasi semua potensi bakat dan minat anak, jam belajar yang terlalu panjang dan mata pelajaran yang terlalu kompleks justru membuat anak-anak seperti dalam kurungan, tak punya waktu lagi untuk mengeksplorasi hal-hal yang menjadi passion mereka secara mandiri. Kalaupun ada yang melakukannya, maka semua dijalani di sisa waktu yang sangat sempit, saat badan sudah lelah dan tuntutan pe er yang masih mengintai.
Singkat kata, setelah berdiskusi dengan Azkia selama seminggu, dengan air mata yang berlinang pada awalnya, akhirnya kami memutuskan kembali menempuh jalur informal untuk Azkia. Sebelum papanya berangkat menemui kepala sekolah, Azkia tetap diberi kesempatan untuk memutuskan, “Kakak, sudah 100% yakin dan siap untuk HS lagi?”. Azkia bilang, “Baru 80 persen, Pah. Tapi nggak apa-apa, HS aja.” 15 September 2014, Azkia pun mundur dari sekolah formal. Semoga kami bisa melanjutkan semua proses pendidikan mandiri ini, sampai semaksimal mungkin kami mampu. Amin.